Rabu, 29 Oktober 2014

ANGIN SEGAR BANTUAN HUKUM DI NEGARA HUKUM

Kembali Indonesia menoreh sejarah dengan ditetapkannya UU No 16/2011 tentang Bantuan Hukum. Saya sengaja menyebut ‘menoreh sejarah’, karena tiga alas pandang ini.
Pertama, sepanjang sejarah perjalanan Republik, belum ada satupun produk hukum setingkat UU (lex specialli) yang khusus mengatur mengenai bantuan hukum cuma-cuma (prodeo). Kedua, seperti produk UU yang lahir sebelumnya, selalu saja didapati ketidaksingkronan antara harapan masyarakat dengan kenyataan yang ada dalam setiap produk UU.
Ketiga, sejarah ambivalensi agaknya terus berlanjut dimana banyaknya produk UU tak pernah memberikan jaminan dalam praktek penegakannya. Sehingga penegakan hukum bukanlah hadiah namun berkah dari perjuangan bersama yang berkelanjutan. Walaupun begitu kehadiran UU Bantuan Hukum ini kian meyakinkan kita bahwa bantuan hukum adalah bagian dari Hak Konstitusi setiap warga negara tanpa terkecuali.
Sebelum lahirnya UU Bantuan Hukum, praktek bantuan hukum hadir atas inisiatif masyarakat melalui pendirian berbagai Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Paling populer melalui Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) lewat konsep Bantuan Hukum Struktural (BHS) dan prodeo. Kemudian dalam perkembangannya termuat dalam beragam aturan termasuk dalam pasal 22 ayat (1) UU Advokat yang lebih lanjut diatur melalui PP No 83/2008.
Meskipun di Indonesia praktek bantuan hukum telah lama berkembang dan menjadi diskursus menarik, namun sejarah bantuan hukum justru telah lama ada di Inggris dan AS melalui konsep Probono dan Legal Aid.
Konsep Pro Bono meliputi empat elemen: seluruh kerja-kerja di wilayah hukum, bersifat sukarela, cuma-cuma serta untuk masyarakat yang kurang terwakili dan rentan. Sementara legal aid merujuk pada pengertian “state subsidized“, pelayanan hukum yang dibiayai atau disubsidi oleh negara.
Ide bantuan hukum yang dibiayai negara di Inggris terjadi setelah perang dunia ke dua berdasarkan rekomendasi laporan dari the Rushcliff Committee bahwa bantuan hukum harus dibiayai oleh negara. Sedangkan bantuan hukum di AS adalah bagian dari program anti kemiskinan pada tahun 1964. Pemerintah AS membentuk lembaga The Office Economic Opportunity (OEO) yang diantaranya membiayai bantuan hukum melalui sistem Judicare, yaitu Advokat atau Bar Association menyediakan layanan bantuan hukum untuk masyarakat miskin, kemudian jasa bantuan hukum tersebut dibiayai oleh negara.
Memeriksa UU Bantuan Hukum
Keberadaan UU Bantuan Hukum serta merta akan menjadi rujukan bagi praktek penyelenggaraan bantuan hukum di Indonesia. UU ini disahkan DPR RI tanggal 04 Oktober 2011 dalam rangka menjamin hak konstitusional bagi setiap warga negara yang mencakup perlindungan hukum, kepastian hukum, persamaan di depan hukum, dan perlindungan hak asasi manusia.
Secara eksplisit UU Bantuan Hukum menyebutkan bahwa penyelenggara bantuan hukum adalah Pemerintah melalui Kemenkumham RI yang dilaksanakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Pemberian wewenang penyelenggaraan kepada Pemerintah sebenarnya sangat jauh dari aspirasi masyarakat melalui Koalisi Untuk Bantuan Hukum (KUBAH).
KUBAH sebelumnya telah berulang kali mengusulkan agar kewenangan penyelenggara bantuan hukum diserahkan pada sebuah Komisi Nasional Independen (Komnasbankum), sebuah komisi yang bebas dari intervensi kekuasaan. Hal ini berkenaan juga dengan usulan mengenai siapa saja yang layak menerima bantuan hukum.
Menurut KUBAH yang layak menerima bantuan hukum adalah juga orang atau kelompok yang termarjinalkan karena suatu kebijakan publik; orang atau kelompok yang hak-hak sipil dan politiknya terabaikan; komunitas masyarakat adat; perempuan dan penyandang cacat hingga mereka para korban pelanggaran hak-hak dasar seperti penggusuran dan lain-lain.
Namun sebagaimana yang telah ditetapkan usulan ini tidak diakomodir. Definisi penerima bantuan hukum menurut UU Bantuan Hukum hanya sebatas pada orang atau kelompok orang yang tidak mampu secara ekonomi (pasal 5). Sehingga banyak kalangan menilai, hadirnya UU Bantuan Hukum ini mirip proses migrasi aturan dari beragam aturan menjadi sebuah aturan khusus. Sebab jika cermat diperiksa banyak kesamaan mekanisme bantuan hukum dengan beragam aturan hukum yang selama ini telah di praktekan.
Salah satunya menyangkut tata cara menerima bantuan hukum dimana calon penerima bantuan hukum mesti menyampaikan permohonan dengan menyertakan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon. Padahal tidak semua orang atau kelompok orang miskin ini terdata di kelurahan atau desa tempat mereka berdomisili dan mekanisme ini sangat rentan di manipulasi.
Bantuan Hukum dalam UU ini meliputi bantuan hukum untuk masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi. Dimana Pemberi Bantuan Hukum menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum (Pasal 4).
Pemberian Bantuan Hukum dilaksanakan oleh LBH atau Ormas (Pasal 1 ayat 3). Yang mana lembaga-lembaga ini harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan dalam UU yakni berbadan hukum; terakreditasi berdasarkan UU ini; memiliki kantor atau sekretariat yang tetap; memiliki pengurus; dan memiliki program Bantuan Hukum (pasal 8).
Namun demikian, hal yang menarik adalah terlegitimasinya peran Paralegal sebagai salah satu aktor pemberi bantuan hukum yang bernaung dalam wadah LBH atau Ormas. Bagi saya terlegitimatsinya peran paralegal merupakan sebuah kemajuan dalam hukum positif di Indonesia. Paralegal sendiri bisa berasal dari berbagai kalangan masyarakat yang dinilai memiliki kemampuan hukum untuk menggunakan ketrampilannya.
Hadirnya UU Bantuan Hukum berefek juga pada aspek pendanaan. Ketentuan menyangkut pendanaan termaktub dalam Pasal 16, 17, 18 dan 19. Urusan pendanaan menjadi kewenangan Kemenkumham RI untuk mengelolanya, sehingga ke depan prosedur anggaran bantuan hukum hanya keluar dari satu pintu saja yakni melalui Kemenkumham RI. Selain itu UU mengamanatkan pada Negara untuk memasukan anggaran bantuan hukum melalui APBN, juga menyarankan pada Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan anggaran melalui APBD. Sehingga hal ini memungkinkan bagi setiap komponen masyarakat di daerah untuk mendorong lahirnya Perda Bantuan Hukum.
Efektif Berlaku Tahun 2013
UU Bantuan Hukum akan efektif berlaku pada tahun 2013, sehingga mekanisme penyelenggaraan bantuan hukum sebelum UU ini berlaku masih tetap merujuk pada beragam UU, Peraturan, Keputusan maupun Surat Edaran Menteri yang berlaku saat ini.
Maka sebelum UU Bantuan Hukum ini diberlakukan penting kiranya bagi kita untuk menyikapinya secara kritis antara lain: (1) Mendorong perubahan beberapa pasal antara lain pasal mengenai Penerima Bantuan Hukum yang tidak hanya untuk orang yang miskin secara ekonomi saja, namun juga bagi orang/kelompok rentan lainnya. (2) Mendorong perubahan pasal mengenai penyelenggara bantuan hukum dari Kemenkumham RI kepada Komnasbankum yang Independen, (3) Meminta Pemerintah untuk segera mensosialisasikan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang mekanisme penyelenggaraan serta pengganggaran Bantuan Hukum, sehingga sejauh hari bisa dipelajari untuk kemudian diberikan masukan-masukan, (4) Menyiapkan perangkat pengawasan terhadap proses verifikasi LBH atau Ormas Pemberi Bantuan Hukum sehingga pada akhirnya LBH atau Ormas yang melaksanakan Bantuan Hukum benar-benar memiliki jejak rekam yang baik, kredibel dan teruji.
semoga menjadi angin segar untuk melahirkan masyarakat melek hukum...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar