Sabtu, 28 Juni 2014

Mendidik Anak Tanpa Kekerasan, Mungkinkah???

Menyikap perkembangan pendidikan sekarang yang dihantui oleh isu Hak Asasi Manusia yang sudah diterapkan Indonesia sejak tahun 1999. Kini, para gurupun sudah harus waspada dan hati-hati dalam mendidik dan membina anak-anak di sekolah, atau lembaga pendidikan lainnya. Sebab, negara sudah membatasi ruang gerak guru dalam mengaplikasikan kemampuan mendidiknya dengan peraturan hukum yang diancam penjara bagi yang melanggarnya. Sungguh guru lagi diteror!!!.
Berdasarkan pengalaman yang kami alami sebagai pengajar sekaligus pengasuh yang mengontrol anak selama 24 jam karena kita menerapkan sistem asrama. Menurut kami tindakan terhadap anak tak selamanya harus disikapi lembut. Terkadang kita perlu menghukumnya karena kenakalan atau kesalahan mereka. Tentunya semua itu dalam bingkai pendidikan. Sehingga tidak bertindak berlebihan yang justru mempengaruhi kejiwaan si anak. maka perlu dilihat tingkat perkembangan umur dan cara berpikirnya. karena sekarang pun anak seumur SD sudah ada yang berpikiran jauh dewasa dibandingkan anak yang di tingkat SMP atau SMA. Nah, disini coba kita kupas dikit sekedar bagi-bagi ilmu dan pengalaman, yang kurang atau salah mohon ditambah atau dikoreksi yo...
Anak, bagaimanapun juga tak terlepas dari berbagai macam tingkah dan polahnya. Beragam perilaku dapat kita saksikan pada diri mereka. Masing-masing anak dalam satu keluarga pun seringkali berbeda perangainya. Terkadang di antara mereka ada yang nampak amat patuh dan sangat mudah diatur. Sedangkan yang lain, demikian bandel atau sering melakukan berbagai pelanggaran.
Yang demikian ini tentu tak boleh dibiarkan. Mau tak mau, orang tua harus mengetahui seluk-beluk mengarahkan anak. Haruskah segala keadaan dihadapi dengan kelemahlembutan dan penuh toleransi? Atau sebaliknya, selalu diatasi dengan hardikan dan wajah yang garang?
Selayaknya orang tua mengetahui sisi-sisi yang perlu dipertimbangkan ketika hendak menghukum anak, karena setiap keadaan menuntut sikap yang berbeda. Orang tua perlu meninjau, apakah permasalahan yang terjadi merupakan sesuatu yang betul-betul tercela atau tidak? Apakah si anak yang melakukannya mengetahui akan kejelekan dan bahaya hal tersebut, ataukah dia dalam keadaan tidak mengerti tentang hal itu maupun hukumnya?
Versi Islam pada dasarnya, orang tua perlu menyertakan kelemahlembutan dalam mengarahkan anak-anaknya. Demikianlah contoh yang dapat ditemukan dari sosok Rasulullah SAW dalam mengarahkan dan membimbing umat beliau. Bahkan demikianlah sifat Rasulullah SAW yang disebutkan dalam Kitabullah:

“Maka karena rahmat Allah-lah engkau bersikap lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kaku dan keras hati, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)
Al-Hasan Al-Bashri mengatakan: “Ini adalah akhlak Muhammad  SAW yang Allah utus dengan membawa akhlak ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/106)
Bukankah termasuk kewajiban terbesar dan perkara terpenting bagi seseorang untuk meneladani akhlak beliau yang mulia ini? Serta bergaul dengan manusia sebagaimana beliau bergaul, dengan sikap lembut, akhlak yang baik dan melunakkan hati mereka, dalam rangka menunaikan perintah Allah SWT dan memikat hati hamba-hamba Allah untuk mengikuti agama-Nya? (Taisirul Karimir Rahman, hal. 154)
Begitu banyak anjuran Rasulullah SAW untuk bersikap lemah lembut. Di antaranya disampaikan oleh istri beliau, ‘Aisyah RA, ketika beliau bersabda:

“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Allah memberikan pada kelembutan apa yang tidak Dia berikan pada kekerasan dan apa yang tidak Dia berikan pada yang lainnya.” (HR. Muslim no. 2593)
Maknanya, Allah SWT memberikan pahala atas kelembutan yang tidak Dia berikan pada yang lainnya. Al-Qadhi mengatakan bahwa maknanya, dengan kelembutan itu akan dapat meraih berbagai tujuan dan mudah mencapai apa yang diharapkan, yang tidak dapat diraih dengan selainnya. (Syarh Shahih Muslim, 16/144)
Demikian pula ‘Aisyah RA mengisahkan bahwa Rasulullah SAW pernah memerintahkan kepadanya:

“Hendaklah engkau bersikap lembut. Karena tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali pasti memperindahnya. Dan tidaklah kelembutan itu tercabut dari sesuatu, kecuali pasti memperjeleknya.” (HR. Muslim no. 2594)
Maksudnya, hendaklah engkau bersikap lembut dengan berlemah lembut kepada siapa pun yang ada di sekitarmu, sederhana dalam segala sesuatu dan menghukum dengan bentuk yang paling ringan dan paling baik. (Faidhul Qadir, 4/334)
Dalam riwayat dari Jarir bin Abdillah RA, Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa yang terhalang dari kelembutan, dia akan terhalang dari kebaikan.” (HR. Muslim no. 2592)
Oleh karena itu, apabila orang tua ingin memperbaiki keadaan anaknya, hendaknya menggunakan kata-kata yang lembut dan berbagai bentuk anjuran. Apabila tidak memungkinkan menggunakan kata-kata yang baik, maka dapat digunakan ucapan yang mengandung hardikan, juga ancaman sesuai dengan kesalahan dan perbuatan dosa yang dilakukan. Apabila hal itu tidak dapat dilakukan dan tidak memberi manfaat, maka saat itulah dibutuhkan pukulan.

Namun bagaimanapun, keadaan setiap anak berbeda. Demikian pula tabiat mereka. Di antara mereka ada yang cukup dengan pandangan mata untuk mendidik dan memarahinya, dan hal itu sudah memberikan pengaruh yang cukup mendalam serta membuatnya berhenti dari kesalahan yang dilakukannya. Ada anak yang bisa mengerti dan memahami maksud orang tua ketika orang tua memalingkan wajahnya sehingga dia berhenti dari kesalahannya. Ada yang cukup diberi pengarahan dengan kata-kata yang baik. Ada pula anak yang tidak dapat diperbaiki kecuali dengan pukulan. Tidak ada yang memberi manfaat padanya kecuali sikap yang keras. Saat itulah dibutuhkan pukulan dan sikap keras sekedar untuk memperbaiki keadaan si anak dengan tidak melampaui batas. Ibarat seorang dokter yang memberikan suntikan kepada seorang pasien. Suntikan itu memang akan terasa sakit bagi si pasien, namun itu hanya diberikan sesuai kadar penyakitnya. Sehingga boleh seseorang bersikap keras terhadap anak-anaknya manakala melihat mereka lalai atau mendapati kesalahan pada diri mereka. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal. 170-171)
Rasulullah SAW memerintahkan orang tua untuk memukul anaknya apabila mereka enggan menunaikan shalat ketika telah berusia 10 tahun. Demikian yang disampaikan Abdul Malik bin Ar-Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Perintahkanlah anak untuk shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun. Dan bila telah berusia sepuluh tahun, pukullah dia bila enggan menunaikannya.” (HR. Abu Dawud no. 494, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan shahih)
Banyak contoh yang dapat dilihat dari para pendahulu kita yang shalih. Di antaranya dikisahkan oleh Nafi’ t, Maula (bekas budak) Abdullah bin ‘Umar RA:

“Bahwasanya Abdullah bin ‘Umar RA apabila mendapati salah seorang anggota keluarganya bermain dadu, beliau memukulnya dan memecahkan dadu itu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1273. Asy-Syaikh Al-Albani t berkata dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad mauquf)
Begitu pula Ummul Mukminin ‘Aisyah RA, sebagaimana penuturan Syumaisah Al-’Atakiyyah:

“Pernah disebutkan tentang pendidikan bagi anak yatim di sisi ‘Aisyah RA, maka beliau pun berkata, ‘Sungguh, aku pernah memukul anak yatim yang ada dalam asuhanku hingga dia telungkup menangis di tanah.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 142, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad)
Akan tetapi, ada yang perlu diperhatikan dalam hal ini. Orang tua tidak diperkenankan memukul wajah. Hal ini secara umum dilarang Rasulullah SAW, sebagaimana dalam hadits Abi Hurairah RA:

“Apabila salah seorang di antara kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.” (HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)
Para ulama mengatakan bahwa ini adalah larangan memukul wajah secara tegas. Karena wajah merupakan sesuatu yang lembut yang terkumpul padanya seluruh keindahan. Anggota-anggota tubuh yang ada di wajah demikian berharga, dan sebagian besar penginderaan seseorang diperoleh dengan anggota tubuh tersebut. Sehingga terkadang pukulan di wajah bisa menghilangkan atau mengurangi fungsi anggota tubuh itu, terkadang pula menjadikan wajah cacat. Sementara cacat di wajah itu sendiri demikian buruk karena nampak jelas dan tidak mungkin ditutupi. Dan pada umumnya pukulan di wajah itu tidak lepas dari kemungkinan timbulnya cacat. Termasuk pula dalam larangan ini seseorang yang memukul istri, anak, ataupun budaknya dalam rangka mendidik, hendaknya dia hindari wajah. (Syarh Shahih Muslim, 16/164)
Hal lain yang perlu diperhatikan pula, pukulan pada si anak adalah semata-mata dalam rangka mendidik. Yang dimaksud dengan pukulan yang mendidik adalah pukulan yang tidak membahayakan. Sehingga tidak diperkenankan seorang ayah memukul anaknya dengan pukulan yang melukai, tidak boleh pula pukulan yang bertubi-tubi tanpa ada keperluan. Namun bila dibutuhkan, misalnya sang anak tidak mau menunaikan shalat kecuali dengan pukulan, maka sang ayah boleh memukulnya dengan pukulan yang membuat jera, namun tidak melukai. Karena Rasulullah r memerintahkan orang tua untuk memukul bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka. (Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/123-124)
Semua ini perlulah kiranya untuk diketahui oleh orang tua yang hendak mengarahkan anak-anak mereka, mengingat tanggung jawab yang dibebankan ke pundak mereka, manakala Rasulullah SAW bersabda:

“Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan akan ditanyai tentang tanggung jawabnya. Seorang pemimpin yang memimpin manusia adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanya tentang mereka. Seorang laki-laki adalah penanggung jawab atas keluarganya dan kelak dia akan ditanya tentang mereka. Seorang istri adalah penanggung jawab rumah tangga dan anak-anak suaminya, dan kelak akan ditanya. Seorang hamba sahaya adalah penanggung jawab harta tuannya dan kelak dia akan ditanya tentangnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanyai tentang tanggung jawabnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

PERADABAN BESAR BERAWAL DARI KUALITAS PENDIDIKAN

Setelah beberapa hari menimba ilmu dari Ponorogo, sempatkan diri jadi bagpacker di kota jogja untuk beberapa hari. eeeh mampir di bioskop sebentar buat nonton film terbaru katanya. Judulnya mantap menurut awak; yaitu  99 cahaya di langit Eropa..Subhanallah, sempat menetes air mata menonton film ini, berkecamuk perasaan ini, ada kebanggan tersendiri sebagai seorang muslim dan salut akan perjuangan orang2 terdahulu dengan hasil karyanya di tanah Eropa.
Selain itu, hikmahnya semakin bertambah kuat keimanan awak pada jalan-Mu ya Allah..
Menakjubkan, film ini juga menceritakan tentang perjuangan hidup seorang muslim di negeri Eropa, dengan tetap mempertahankan identitas keislamannya, bersama anaknya sanggup bertahan dengan keyakinannya, keimanan yg harus apresiasikan dalam amal perbuatan nyata. salut, be proud a muslem!

Film ini cocok ditonton oleh orang2 yg masih malu dan minder dengan identitas keislamannya, kadang mau membuka atau melepaskan simbol2 keislamannya. Menonton film ini serasa ikut mengembara langsung ke Eropa (Wina - Paris - Codoba - Granada – Istanbul) dan sekaligus belajar sejarah Islam di Eropa yang begitu membanggakan dan mengharukan.
Mengajak kita untuk mengamalkan Islam secara total melalui perilaku yang mencerminkan Islam, lewat contoh tokoh yang bernama Fatma. Peradaban yang besar yang ditinggalkan Pendahulu Muslim dulu karena berhasil menanamkan pendidikan agama yang baik. Persis seperti Sabda Nabi SAW; makin tinggi berilmu seseorang semakin dekat dengan Tuhannya, bukan malah sebaliknya. 
Peninggalan Peradaban Endatu Aceh, benteng Iskandar Muda
Tetapi sayangnya, kita prihatin melihat sebagian orang2 Islam Indonesia yang tinggal atau berada di luar negeri, notabene sudah mengenal / belajar Islam sejak lahir bahkan nenek moyang orangtuanya muslim tulen. Tetapi merasa malu dan minder dengan identitas keislamannya bahkan rela meninggalkan symbol identitas keislamannya demi alasan agar mudah berbaur, beginilah wajah muslim pemunafik, anak macam ini diharapakn mendidik generasi muda Islam ? ooh nooo..
Kini banyak kaum Eropa yang terbuka matahatinya melihat kebesaran dan kebenaran Islam, maka itulah sebabnya maka setiap tahun bertambah jumlah muslim di bumi Eropa. Namun, sebaliknya di Indonesia yang sudah Islam secara turun temurun malah sudah mulai meninggal nilai-2 Islam, salah satu efek perang pemikiran (ghazwul fikri). Alangkah sedihnya jika kita lihat sebagian Muslim kalau sudah hidup di negeri Barat seolah-olah sudah bukan Islam lagi dia, wah hebat ngaku pandai tapi berani melanggar hukum Tuhan dia, seperti itukah dikatakan orang baik dan pandai?…masya Allah.

Saya ingat pesan guru saya, dalam hidup ini jadilah seperti ikan walaupun hidup di lautan yg asin tetapi dagingnya tetap tawar, karena dia hidup, kalo mati baru ia menjadi ikan asin.
Jadi, jaga prinsip2 dan nilai Islam yang telah ditanamkan di manapun kamu berada, di bumi manapun kaki berbijak, disitu Islam dijunjung…
Islam mempersilahkan kita untuk merantau ke negeri jauh tetapi aqidah dan nilai Islam tetap dijaga.
Belajarlah pada kisah sahabat Amar bin Yasir, Bilal bin Rabah, dan Sumayyah umma Ammar dalam mempertahankan aqidahnya.

Saya juga teringat kata sahabat Ali RA:
Wahai anakku! Dunia ini bagaikan samudra di mana banyak ciptaan ciptaan Nya yang tenggelam. Maka jelajahilah dunia ini dengan menyebut nama Allah. Jadikan ketakutanmu pada Allah sebagai kapal kapal yang menyelamatkanmu. Kembangkanlah keimanan sebagai layarmu, logika sebagai pendayung kapalmu, ilmu pengetahuan sebagai nahkoda perjalananmu; dan kesabaran sebagai jangkar dalam setiap badai cobaan.” (Ali bin Abi Thalib RA)

Sobat, bek bacut2 ka neujak nanggro gob, ka tuwoe dengan adat dan identitas bangsa dro..
sebuah catatn kecil;