Rabu, 29 Oktober 2014

ERA BARU LAYANAN HUKUM DI PENGADILAN



Terbitnya Undang-Undang Bantuan Hukum dan yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 faktanya menghambat langkah pengadilan dalam memberikan bantuan hukum secara optimal. Aturan yang menyatakan bahwa penganggaran bantuan hukum harus berdasarkan rejim UU No.16 Tahun 2011 dan dilaksanakan oleh Pemerintah (cq Kementrian Hukum dan HAM). Akibatnya, pada 2013 Pengadilan tidak dapat menganggarkan kegiatan bantuan hukum kepada masyarakat miskin yang sebelumnya telah berjalan dengan baik berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Pengadilan.Pada dasarnya, Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Badan Peradilan mengemban amanat pemenuhan hak setiap orang yang tersangkut perkara untuk memperoleh bantuan hukum dan negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Undang-undang juga mengharuskan Pengadilan mampu membentuk pos bantuan hukum pada setiap Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai sarana penyediaan bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Hal ini disandarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang-Undang Noor 49 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.

Maka untuk tetap dapat melaksanakan amanat undang-undang tersebut Mahkamah Agung telah mengesahkan kebijakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan yang disahkan pada 9 Januari 2014. Perubahan kebijakan juga dimaksudkan untuk mengakomodasi kebutuhan pelaksanaan layanan bantuan hukum yang luput dari kegiatan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Undang Undang No.16 Tahun 2011.PENGERTIAN DAN ISTILAH:

  1. Pemberian layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di Pengadilan meliputi Layanan Pembebasan Biaya Perkara, Sidang di Luar Gedung Pengadilan, dan Posbakum Pengadilan di lingkungan Peradilan Urnum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara.
  2. Layanan Pernbebasan Biaya Perkara berlaku pada tingkat pertarna, tingkat banding, tingkat kasasi dan peninjauan kernbali, sementara Sidang di Luar Gedung Pengadilan dan Posbakum Pengadilan hanya berlaku pada tingkat pertama.
  3. Pengadilan adalah Pengadilan pada lingkungan Peradilan Urnum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
  4. Layanan Pembebasan Biaya Perkara adalah negara menanggung biaya proses berperkara di Pengadilan sehingga setiap orang atau sekelompok orang yang tidak mampu secara ekonomi dapat berperkara secara cuma-cuma.
  5. Sidang di Luar Gedung Pengadilan adalah sidang yang dilaksanakan secara tetap, berkala atau sewaktu-waktu oleh Pengadilan di suatu tempat yang ada di dalam wilayah hukumnya tetapi di luar ternpat kedudukan gedung Pengadilan dalam bentuk Sidang Keliling atau Sidang di Tempat Sidang Tetap.
  6. Posbakum Pengadilan adalah layanan yang dibentuk oleh dan ada pada setiap Pengadilan tingkat pertama untuk memberikan layanan hukum berupa inforrnasi, konsultasi, dan advis hukurn, serta pembuatan dokumen hukum yang dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman, Peradilan Umurn, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
  7. Petugas Posbakurn Pengadilan adalah Pemberi layanan di Posbakum Pengadilan yang merupakan Advokat, Sarjana Hukum, dan Sarjana Syari'ah yang berasal dari Lembaga Pemberi Layanan Posbakurn Pengadilan yang bekerjasama dengan Pengadilan dan bertugas sesuai dengan kesepakatan jam layanan Posbakum Pengadilan di dalam perjanjian kerjasama tersebut.
  8. Lembaga Pemberi Layanan Posbakum Pengadilan adalah lembaga masyarakat sipil penyedia advokasi hukum danj atau unit kerja advokasi hukum pada organisasi profesi advokat danjatau lembaga konsultasi dan bantuan hukum di perguruan tinggi.
  9. Pencatatan dan Pelaporan Layanan Hukum bagi masyarakat tidak mampu adalah proses pencatatan setiap bentuk Layanan Hukum bagi masyarakat tidak mampu dalam register dan perekaman yang dilakukan oleh petugas pengadilan pada setiap Pengadilan berisi segala informasi dan data yang berhubungan dengan permintaan dan pemberian layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu.
  10. Sistem Data Layanan Hukum bagi masyarakat tidak mampu adalah kumpulan informasi terpusat dan terpadu mengenai permintaan dan pemberian Layanan Hukum bagi masyarakat tidak mampu berdasarkan Pencatatan dan Pelaporan Layanan Hukum bagi masyarakat tidak mampu, yang dikelola dan dikoordinasikan oleh Direktorat Jenderal pada masing-masing lingkungan Badan Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara dibawah Mahkamah Agung secara MANUAL maupun elektronik.

ASAS, DAN RUANG LINGKUP

Layanan Hukum bagi masyarakat tidak mampu berasaskan:
  1. Keadilan;
  2. Sederhana, cepat, dan biaya ringan;
  3. Non diskriminatif;
  4. Transparansi;
  5. Akuntabilitas;
  6. Efektivitas dan efisiensi;
  7. Bertanggung jawab; dan
  8. Profesional.
Tujuan Layanan Hukum bagi masyarakat tidak mampu di Pengadilan adalah untuk:
  1. Meringankan beban biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi di Pengadilan;
  2. Meningkatkan akses terhadap keadilan bagi masyarakat yang sulit atau tidak mampu menjangkau gedung Pengadilan akibat keterbatasan biaya, fisik atau geografis;
  3. Memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tidak mampu mengakses konsultasi hukum untuk memperoleh informasi, konsultasi, advis, dan pembuatan dokumen dalam menjalani proses hukum di Pengadilan;
  4. Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang hukum melalui penghargaan, pemenuhan dan perlindungan terhadap hale dan kewajibannya; dan
  5. Memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan.
Ruang lingkup Layanan Hukum bagi masyarakat tidak mampu di Pengadilan terdiri dari:
  1. Layanan Pembebasan Biaya Perkara;
  2. Penyelenggaraan Sidang di Luar Gedung Pengadilan; dan
  3. Penyediaan Posbakum Pengadilan.

LAYANAN PEMBEBASAN BIAYA PERKARA

Penerima Layanan Pembebasan Biaya Perkara
  1. Setiap orang atau sekelompok orang yang tidak mampu secara ekonomi dapat mengajukan permohonan pembebasan biaya perkara.
  2. Tidak mampu secara ekonomi sebagaimana dibuktikan dengan:
    1. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa Lurah Kepala wilayah setempat yang menyatakan bahwa benar yang bersangkutan tidak mampu membayar biaya perkara, atau
    2. Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Beras Miskin (Raskin), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Perlindungan Sosial (KPS), atau dokumen lainnya yang berkaitan dengan daftar penduduk miskin dalam basis data terpadu pemerintah atau yang dikeluarkan oleh instansi lain yang berwenang untuk memberikan keterangan tidak mampu.
  3. Pemberian layanan pembebasan biaya perkara dapat dilaksanakan sesuai kebutuhan di setiap tahun anggaran.
Prosedur Layanan Pembebasan Biaya Perkara
  1. Layanan Pembebasan Biaya Perkara dilaksanakan melalui pemberian bantuan biaya penanganan perkara yang dibebankan pada anggaran satuan Pengadilan.
  2. Dalarn hal perkara perdata, perdata agarna dan tata usaha negara, Penggugat/Pernohon mengajukan permohonan Pernbebasan Biaya Perkara sebelurn sidang pertama secara tertulis atau sebelurn sidang persiapan khusus untuk perkara tata usaha negara.
  3. Apabila Tergugat/Termohon rnengajukan perrnohonan Pernbebasan Biaya Perkara, maka permohonan itu disampaikan secara tertulis sebelurn menyampaikan jawaban atas gugatan Penggugat/ Pernohon.
  4. Permohonan Pernbebasan Biaya Perkara diajukan kepada Ketua Pengadilan rnelalui Kepaniteraan dengan melampirkanKeterangan   Tidak Mampu (SKTM) atau Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya.
  5. Panitera/Sekretaris rnemeriksa kelayakan pernbebasan biaya perkara dan ketersediaan anggaran.
  6. Ketua Pengadilan berwenang untuk rnelakukan pemeriksaan berkas berdasarkan pertirnbangan Panitera/Sekretaris dan mengeluarkan Surat Penetapan Layanan Pembebasan Biaya Perkara apabila permohonan dikabulkan.
  7. Dalam hal permohonan Pembebasan Biaya Perkara ditolak, maka proses berperkara dilaksanakan sebagaimana perkara biasa.
  8. Penetapan Layanan Pembebasan Biaya Perkara berlaku untuk perkara yang sama yang diajukan ke tingkat banding, kasasi dan / atau peninjauan kernbali, dengan mempertimbangkan ketersediaan anggaran.
Komponen Pembiayaan Layanan Pembebasan Biaya Perkara
  1. Komponen biaya yang tidak dibebankan pada pihak yang berperkara sebagai akibat pembebasan biaya perkara terdiri dari:
    1. Materai;
    2. Biaya Pemanggilan para pihak;
    3. Biaya Pemberitahuan lsi Putusan;
    4. Biaya Sita Jaminan;
    5. Biaya Pemeriksaan setempat;
    6. Biaya Saksi/ Ahli;
    7. Biaya eksekusi;
    8. Alat Tulis Kantor (ATK);
    9. Penggandaan/ foto copy berkas perkara dan surat-surat yang berkaitan dengan berkas perkara;
    10. Penggandaan salinan putusan;
    11. Pengiriman pemberitahuan nomor register ke Pengadilan Pengaju dan para pihak, salinan putusan, berkas perkara dan surat-surat lain yang dipandang perlu;
    12. Pemberkasan dan penjilidan berkas perkara yang telah diminutasi; dan
    13. Pengadaan perlengkapan kerja Kepaniteraan yang habis pakai.
  2. Dalam hal permohonan Pembebasan Biaya Perkara dikabulkan, penerima layanan pembebasan biaya perkara tidak akan dipungut Biaya Pendaftaran Perkara, Biaya Redaksi dan Leges dan penerimaan negara bukan pajak lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya.
Mekanisme Pembiayaan Layanan Pembebasan Biaya Perkara
  1. Apabila permohonan Pembebasan Biaya Perkara dikabulkan, salinan Penetapan Layanan Pembebasan Biaya Perkara diserahkan kepada Panitera/ Sekretaris selaku Kuasa Pengguna Anggaran.
  2. Panitera/Bekretaris selaku Kuasa Pengguna Anggaran mernbuat Surat Keputusan untuk membebankan biaya perkara kepada anggaran negara.
  3. Berdasarkan Surat Keputusan dirnaksud, Bendahara Pengeluaran menyerahkan biaya Layanan Pembebasan Biaya Perkara kepada kasir sebesar yang telah ditentukan dalam Surat Keputusan.
  4. Apabila kebutuhan biaya perkara melebihi panjar biaya perkara yang telah ditentukan dalam Surat Keputusan, rnaka Panitera/Sekretaris dapat membuat Surat Keputusan untuk menambah panjar biaya pada perkara yang sarna.

SIDANG DI LUAR GEDUNG PENGADILAN

Penerima Layanan Sidang di Luar Gedung Pengadilan
Pengadilan dapat melaksanakan layanan sidang di luar gedung pengadilan untuk mempermudah setiap warga negara yang tidak mampu atau sulit menjangkau lokasi kantor Pengadilan karena hambatan biaya atau hambatan fisik atau hambatan geografis.
Prosedur Layanan Sidang di Luar Gedung Pengadilan
  1. Pengadilan dapat menyelenggarakan sidang di luar gedung Pengadilan berdasarkan pada karakteristik jumlah perkara dan keterjangkauan wilayah.
  2. Lokasi penyelenggaraan sidang di luar gedung Pengadilan dapat ditetapkan melalui koordinasi antara Pengadilan dengan Pemerintah Daerah atau instansi lain.
  3. Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat menyelenggarakan layanan sidang di luar gedung Pengadilan secara bersama-sama sesuai dengan kebutuhan.
  4. Dalam menyelenggarakan sidang di luar gedung Pengadilan, Pengadilan secara terpadu melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah atau Kementerian / Lembaga lain yang berwenang untuk keperluan penerbitan dokumen-dokumen sebagai akibat dari putusan Pengadilan pada sidang di luar gedung Pengadilan.
  5. Sidang di luar gedung Pengadilan dapat dilaksanakan secara terpadu dengan layanan Posbakum Pengadilan.
  6. Pengadilan dapat berkoordinasi dengan Lembaga Pemberi Layanan Posbakum Pengadilan untuk melakukan pendataan kebutuhan dan koordinasi penyelenggaraan sidang di luar gedung Pengadilan yang terpadu dengan layanan Posbakum Pengadilan.

POSBAKUM PENGADILAN

Penerima Layanan di Posbakum Pengadilan
  1. Orang atau sekelompok orang yang   tidak   mampu   secara ekonomi   dan/ atau tidak   memiliki   akses   pada   informasi   dan konsultasi  hukum   yang memerlukan   layanan   berupa   pemberian inforrnasi,   konsultasi,     advis   hukum, atau bantuan pembuatan dokumen hukum yang dibutuhkan,   dapat menerima layanan pada Posbakum Pengadilan.
  2. Tidak mampu   sebagaimana   dimaksud pada     angka   (1) dibuktikan dengan melampirkan:
    1. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa/Lurah/Kepala wilayah setingkat yang menyatakan bahwa benar yang bersangkutan tidak mampu membayar biaya perkara, atau
    2. Keterangan Tunjangan   Sosial   lainnya   seperti   Kartu Keluarga Miskin (KKM,) Kartu Jaminan kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Beras   Miskin (Raskin), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT,) Kartu Perlindungan Sosial (KPS,) atau   dokumen lainnya yang berkaitan dengan daftar penduduk miskin dalam basis data terpadu pemerintah atau yang dikeluarkan oleh instansi lain yang berwenang untuk memberikan keterangan tidak mampu, atau
    3. Surat pernyataanmampu membayar jasa   advokat yang dibuat dan   ditandatangani oleh   Pemohon layanan Posbakum Pengadilan dan   disetujui oleh   Petugas Posbakum Pengadilan, apabila Pemohon layanan Posbakum Pengadilan tidak   memiliki dokumen sebagaimana disebut dalam huruf a atau b.
  3. Orang atau sekelompok orang sebagaimana dimaksud pada angka (1) adalah pihak yang akan/telah bertindak sebagai:
    1. penggugat/pemohon, atau
    2. tergugat/termohon, atau
    3. terdakwa, atau
    4. saksi.

ANGIN SEGAR BANTUAN HUKUM DI NEGARA HUKUM

Kembali Indonesia menoreh sejarah dengan ditetapkannya UU No 16/2011 tentang Bantuan Hukum. Saya sengaja menyebut ‘menoreh sejarah’, karena tiga alas pandang ini.
Pertama, sepanjang sejarah perjalanan Republik, belum ada satupun produk hukum setingkat UU (lex specialli) yang khusus mengatur mengenai bantuan hukum cuma-cuma (prodeo). Kedua, seperti produk UU yang lahir sebelumnya, selalu saja didapati ketidaksingkronan antara harapan masyarakat dengan kenyataan yang ada dalam setiap produk UU.
Ketiga, sejarah ambivalensi agaknya terus berlanjut dimana banyaknya produk UU tak pernah memberikan jaminan dalam praktek penegakannya. Sehingga penegakan hukum bukanlah hadiah namun berkah dari perjuangan bersama yang berkelanjutan. Walaupun begitu kehadiran UU Bantuan Hukum ini kian meyakinkan kita bahwa bantuan hukum adalah bagian dari Hak Konstitusi setiap warga negara tanpa terkecuali.
Sebelum lahirnya UU Bantuan Hukum, praktek bantuan hukum hadir atas inisiatif masyarakat melalui pendirian berbagai Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Paling populer melalui Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) lewat konsep Bantuan Hukum Struktural (BHS) dan prodeo. Kemudian dalam perkembangannya termuat dalam beragam aturan termasuk dalam pasal 22 ayat (1) UU Advokat yang lebih lanjut diatur melalui PP No 83/2008.
Meskipun di Indonesia praktek bantuan hukum telah lama berkembang dan menjadi diskursus menarik, namun sejarah bantuan hukum justru telah lama ada di Inggris dan AS melalui konsep Probono dan Legal Aid.
Konsep Pro Bono meliputi empat elemen: seluruh kerja-kerja di wilayah hukum, bersifat sukarela, cuma-cuma serta untuk masyarakat yang kurang terwakili dan rentan. Sementara legal aid merujuk pada pengertian “state subsidized“, pelayanan hukum yang dibiayai atau disubsidi oleh negara.
Ide bantuan hukum yang dibiayai negara di Inggris terjadi setelah perang dunia ke dua berdasarkan rekomendasi laporan dari the Rushcliff Committee bahwa bantuan hukum harus dibiayai oleh negara. Sedangkan bantuan hukum di AS adalah bagian dari program anti kemiskinan pada tahun 1964. Pemerintah AS membentuk lembaga The Office Economic Opportunity (OEO) yang diantaranya membiayai bantuan hukum melalui sistem Judicare, yaitu Advokat atau Bar Association menyediakan layanan bantuan hukum untuk masyarakat miskin, kemudian jasa bantuan hukum tersebut dibiayai oleh negara.
Memeriksa UU Bantuan Hukum
Keberadaan UU Bantuan Hukum serta merta akan menjadi rujukan bagi praktek penyelenggaraan bantuan hukum di Indonesia. UU ini disahkan DPR RI tanggal 04 Oktober 2011 dalam rangka menjamin hak konstitusional bagi setiap warga negara yang mencakup perlindungan hukum, kepastian hukum, persamaan di depan hukum, dan perlindungan hak asasi manusia.
Secara eksplisit UU Bantuan Hukum menyebutkan bahwa penyelenggara bantuan hukum adalah Pemerintah melalui Kemenkumham RI yang dilaksanakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Pemberian wewenang penyelenggaraan kepada Pemerintah sebenarnya sangat jauh dari aspirasi masyarakat melalui Koalisi Untuk Bantuan Hukum (KUBAH).
KUBAH sebelumnya telah berulang kali mengusulkan agar kewenangan penyelenggara bantuan hukum diserahkan pada sebuah Komisi Nasional Independen (Komnasbankum), sebuah komisi yang bebas dari intervensi kekuasaan. Hal ini berkenaan juga dengan usulan mengenai siapa saja yang layak menerima bantuan hukum.
Menurut KUBAH yang layak menerima bantuan hukum adalah juga orang atau kelompok yang termarjinalkan karena suatu kebijakan publik; orang atau kelompok yang hak-hak sipil dan politiknya terabaikan; komunitas masyarakat adat; perempuan dan penyandang cacat hingga mereka para korban pelanggaran hak-hak dasar seperti penggusuran dan lain-lain.
Namun sebagaimana yang telah ditetapkan usulan ini tidak diakomodir. Definisi penerima bantuan hukum menurut UU Bantuan Hukum hanya sebatas pada orang atau kelompok orang yang tidak mampu secara ekonomi (pasal 5). Sehingga banyak kalangan menilai, hadirnya UU Bantuan Hukum ini mirip proses migrasi aturan dari beragam aturan menjadi sebuah aturan khusus. Sebab jika cermat diperiksa banyak kesamaan mekanisme bantuan hukum dengan beragam aturan hukum yang selama ini telah di praktekan.
Salah satunya menyangkut tata cara menerima bantuan hukum dimana calon penerima bantuan hukum mesti menyampaikan permohonan dengan menyertakan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon. Padahal tidak semua orang atau kelompok orang miskin ini terdata di kelurahan atau desa tempat mereka berdomisili dan mekanisme ini sangat rentan di manipulasi.
Bantuan Hukum dalam UU ini meliputi bantuan hukum untuk masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi. Dimana Pemberi Bantuan Hukum menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum (Pasal 4).
Pemberian Bantuan Hukum dilaksanakan oleh LBH atau Ormas (Pasal 1 ayat 3). Yang mana lembaga-lembaga ini harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan dalam UU yakni berbadan hukum; terakreditasi berdasarkan UU ini; memiliki kantor atau sekretariat yang tetap; memiliki pengurus; dan memiliki program Bantuan Hukum (pasal 8).
Namun demikian, hal yang menarik adalah terlegitimasinya peran Paralegal sebagai salah satu aktor pemberi bantuan hukum yang bernaung dalam wadah LBH atau Ormas. Bagi saya terlegitimatsinya peran paralegal merupakan sebuah kemajuan dalam hukum positif di Indonesia. Paralegal sendiri bisa berasal dari berbagai kalangan masyarakat yang dinilai memiliki kemampuan hukum untuk menggunakan ketrampilannya.
Hadirnya UU Bantuan Hukum berefek juga pada aspek pendanaan. Ketentuan menyangkut pendanaan termaktub dalam Pasal 16, 17, 18 dan 19. Urusan pendanaan menjadi kewenangan Kemenkumham RI untuk mengelolanya, sehingga ke depan prosedur anggaran bantuan hukum hanya keluar dari satu pintu saja yakni melalui Kemenkumham RI. Selain itu UU mengamanatkan pada Negara untuk memasukan anggaran bantuan hukum melalui APBN, juga menyarankan pada Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan anggaran melalui APBD. Sehingga hal ini memungkinkan bagi setiap komponen masyarakat di daerah untuk mendorong lahirnya Perda Bantuan Hukum.
Efektif Berlaku Tahun 2013
UU Bantuan Hukum akan efektif berlaku pada tahun 2013, sehingga mekanisme penyelenggaraan bantuan hukum sebelum UU ini berlaku masih tetap merujuk pada beragam UU, Peraturan, Keputusan maupun Surat Edaran Menteri yang berlaku saat ini.
Maka sebelum UU Bantuan Hukum ini diberlakukan penting kiranya bagi kita untuk menyikapinya secara kritis antara lain: (1) Mendorong perubahan beberapa pasal antara lain pasal mengenai Penerima Bantuan Hukum yang tidak hanya untuk orang yang miskin secara ekonomi saja, namun juga bagi orang/kelompok rentan lainnya. (2) Mendorong perubahan pasal mengenai penyelenggara bantuan hukum dari Kemenkumham RI kepada Komnasbankum yang Independen, (3) Meminta Pemerintah untuk segera mensosialisasikan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang mekanisme penyelenggaraan serta pengganggaran Bantuan Hukum, sehingga sejauh hari bisa dipelajari untuk kemudian diberikan masukan-masukan, (4) Menyiapkan perangkat pengawasan terhadap proses verifikasi LBH atau Ormas Pemberi Bantuan Hukum sehingga pada akhirnya LBH atau Ormas yang melaksanakan Bantuan Hukum benar-benar memiliki jejak rekam yang baik, kredibel dan teruji.
semoga menjadi angin segar untuk melahirkan masyarakat melek hukum...

Perbedaan Pro Bono dengan Pro Deo

Istilah pro bono memiliki arti yaitu suatu perbuatan/pelayanan hukum yang dilakukan untuk kepentingan umum atau pihak yang tidak mampu tanpa dipungut biaya. Pengertian ini termuat dalam penjelasan arti kata/definisi istilah-istilah hukum yang kami akses dari laman resmi Pengadilan Negeri Semarang.

Selain itu, dalam laman The Law Dictionary, juga disebutkan mengenai istilah pro bono, yaitu:
 A latin term meaning for the public good. It is the provision of services that are free to safeguard public interest.
Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pro bono adalah pemberian layanan/bantuan hukum yang diberikan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu. Sebagi contoh, dalam artikel Pengacara Dampingi Pitbull Secara Pro Bono diceritakan bahwa seorang pengacara bernama Claude M. Kicklighter menangani kasus penyerangan yang dilakukan oleh seekor anjing terhadap anak kecil berumur lima tahun bernama Wesley Frye di Amerika Serikat. Pemilik anjing (Larry) ditangani kasusnya secara cuma-cuma alias pro bono. Dari sini juga bisa kita lihat bahwa pro bono adalah bantuan hukum yang diberikan oleh pengacara secara cuma-cuma.
Selanjutnya kami akan jelaskan tentang pro deo atau yang juga sering disebut dengan istilah prodeo. Dalam laman Pengadilan Agama Serangdikatakan bahwa berdasarkan SEMA No 10 Tahun 2010 tentang Bantuan Hukum (saat ini telah dicabut oleh Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu Di Pengadilan – “Perma 1/2014”), prodeo adalah proses berperkara di pengadilan secara cuma-cuma dengan dibiayai negara melalui anggaran Mahkamah Agung RI.
Dalam laman resmi tersebut juga dikatakan bahwa yang berhak mengajukan gugatan/permohonan berperkara secara cuma-cuma (prodeo) adalah masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis, dengan syarat melampirkan (lihat Pasal 7 ayat (2) Perma 1/2014):
1. Surat Keterangan Tidak Mampu (“SKTM”) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa/Lurah/Wilayah setempat yang menyatakan bahwa benar yang bersangkutan tidak mampu membayar biaya perkara, atau
2.    Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Beras Miskin (Raskin), Kartu  Keluarga Harapan (PKH), Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Perlindungan Sosial (KPS), atau dokumen lainnya yang berkaitan dengan daftar penduduk miskin dalam basis data terpadu pemerintah atau yang dikeluarkan oleh instansi lain yang berwenang untuk memberikan keterangan tidak mampu.
Dari serangkaian penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pro bono adalah bantuan hukum yang dilakukan untuk pihak yang tidak mampu tanpa dipungut biaya, yang mana biasanya pro bono itu diberikan oleh pengacara yang langsung menangani perkara yang dihadapi pihak yang tidak mampu tersebut. Sedangkan pro deo adalah pembebasan biaya perkara di pengadilan yang mana biaya tersebut dibiayai negara melalui anggaran Mahkamah Agung.
Dasar hukum:
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu Di Pengadilan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Referensi:
1. http://www.pn-semarangkota.go.id/images/stories/file/Kamus_Hukum.pdf, diakses pada 14 Februari 2014 pukul 17.36 WIB
2. http://thelawdictionary.org/pro-bono/, diakses pada 14 Februari 2014 pukul 17.51 WIB
4. http://www.badilum.info/index.php?option=com_content&view=article&id=396:sur, diakses pada 14 Februari 2014 pukul 19.13 WIB